Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI NATUNA
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2024/PN Ntn Aripin Kejaksaan Agung Republik Indonesia Cq Kejaksaan Tinggi Kepulauan Riau Cq Kejaksaan Negeri Natuna Minutasi
Tanggal Pendaftaran Rabu, 12 Jun. 2024
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2024/PN Ntn
Tanggal Surat Rabu, 12 Jun. 2024
Nomor Surat -
Pemohon
Termohon
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

bg jiirin baru copy.png

Ranai, 11 Juni 2024

Kepada Yth,

Ketua Pengadilan Negeri Ranai

Jalan Batu Sisir

Di _

          Ranai

 

Perihal           : Permohonan Praperadilan.

 

Dengan Hormat,

 

 

Yang bertanda tangan dibawah ini MUHAJIRIN, S.H., RIAN WAHYUDI, S.H., adalah Advokat/ Pengacara & Konsultan Hukum pada Kantor Hukum MUHAJIRIN & REKAN, yang beralamat Jalan Utama Sari No. 39 A, Kelurahan Tangkerang Selatan, Kecamatan Bukit    Raya, Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, Hp. 0812-1615-1615, Email: kantorhukum.muhajirin@gmail.com, berdasarkan Surat Kuasa Khusus Nomor: 142/SKK-M&R/VI/2024 tanggal 11 Juni 2024 (Terlampir) dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama Pemberi Kuasa yaitu:

 

Nama                         : ARIPIN.

NIK                             : 2171110812749001.

Tempat/ Tgl. Lahir    : Singgang Bulan, 08 Desember 1974.

Jenis Kelamin          : Laki-laki.

Agama                       : Islam.

Kewarganegaraan   : Indonesia.

Pekerjaan                  : Wiraswasta.

Alamat KTP               : Air Lebai, RT. 005/ RW. 003, Kelurahan Ranai, Kec. Bunguran

  Timur Laut, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

 

Untuk selanjutnya disebut sebagai ------------------------------------------------- PEMOHON.

 

Dengan ini mengajukan Permohonan Praperadilan terhadap:

 

Kejaksaan Agung Republik Indonesia Cq. Kejaksaan Tinggi Kepulan Riau Cq. Kejaksaan Negeri Natuna, yang beralamat di Jalan Pramuka No. 51, Ranai Kota, Kecamatan Bunguran Timur, Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau.

 

Untuk selanjutnya disebut sebagai ----------------------------------------------- TERMOHON.

Adapun yang menjadi dasar dan alasan hukum Pemohon mengajukan Permohonan Pemeriksaan Praperadilan adalah sebagai berikut :

 

  1. KEDUDUKAN HUKUM PEMOHON.

 

  1. Bahwa Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon berdasarkan surat Termohon Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/06/2024, tertanggal 07 Juni 2024 telah menetapkan Pemohon sebagai Tersangka atas dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengelolaan Keuangan Perusahaan Daerah Kabupaten Natuna Tahun Anggaran 2018 sampai dengan Tahun Anggaran 2020. (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa atas ditetapkannya Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon, Pemohon sangat keberatan oleh karena Pemohon tidak pernah merasa atau melakukan tindak pidana sebagaimana yang disangkakan oleh Termohon kepada Pemohon;

 

  1. Bahwa bertolak dari ketentuan Pasal 77 KUHAP yang mengatur objek dari Praperadilan serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, maka objek Praperadilan diperluas hingga pada upaya Praperadilan tentang sah tidaknya penetapan seorang sebagai Tersangka. Maka berdasarkan pasal 77 KUHAP dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 21/PUU-XII/2014. Pemohon akhirnya mengunakan jalur konstitusional berupa sarana Praperadilan yang disediakan oleh Undang-Undang untuk menguji kriteria, syarat yang ditetapkan oleh Termohon sehingga Pemohon di tetapkan sebagai Tersangka.                 (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa berdasarkan poin 1, 2 dan 3 tersebut Pemohon mempunyai kedudukan Hukum yang sah (legal standing) untuk mengajukan Praperadilan terhadap Termohon untuk diperiksa dan/ atau koreksi atas penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon yang telah mengakibatkan hilangnya kebebasan Pemohon karena dilangggarnya hak asasi Pemohon yang disebabkan tindakan Termohon telah melakukan dengan prosedur yang salah dan menyimpang dari tata cara Penyidikan berdasarkan ketentuan hukum;

 

 

 

  1. OBJEK PERMOHONAN PRAPERADILAN.

 

Adapun yang menjadi objek Praperadilan adalah sebagai berikut:

 

  1. Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/04/2024, tanggal 23 April 2024 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Natuna. (Vide Bukti);
  2. Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/06/2024, tanggal 07 Juni 2024 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Natuna. (Vide Bukti);

 

  1. DASAR DAN ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN.

 

  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON TIDAK DIDASARKAN PERHITUNGAN KERUGIAN NEGARA DARI BADAN PEMERIKSA KEUANGAN  (BPK).

 

  1. Bahwa Alat Bukti yang digunakan Termohon dalam menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah hanya berdasarkan Laporan Hasil Audit Perhitungan Kerugian Negara dari Badan Inspektorat Daerah Pemerintah Kabupaten Natuna: 7001.2.3/IRBAN/IV/2023 tanggal 28 April 2023, sebesar Rp. 419.318.511,- (empat ratus sembilan belas juta tiga ratus delapan belas ribu lima ratus sebelas rupiah). (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa Penetapan Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon harus memenuhi dua alat bukti yang secara kualitatif diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), halmana berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor Nomor: 21/PUU-XII/2014, telah ditafsir oleh Mahkamah Konstitusi bahwa “Frasa Bukti Permulaan” adalah dua alat bukti yang secara kualitatif diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP);

 

  1. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bukti yang terdiri 5 (lima) komponen alat bukti yang sah yaitu:

 

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk; dan
  5. Keterangan terdakwa.

 

  1. Bahwa Termohon dalam menetapan Pemohon sebagai Tersangka tanpa adanya pemenuhan dua alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAPidana, hal ini karena tidak ada Perhitungan Kerugian Keuagan Negara dari instansi yang paling berwenang yakni Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK-RI) yang menghitung kerugian keuangan negara atas perkara yang disangkakan oleh Termohon kepada Pemohon. Karena unsur yang esensial dalam perkara aquo adalah harus adanya bukti terjadi kerugian negara dengan kata lain dalam perkara Tindak Pidana Korupsi kerugian keuangan negara harus benar-benar nyata ada, barulah kepada Pemohon dapat ditetapkan sebagai Tersangka, halmana telah ditegaskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi RI No. 25/PUU-XIV/2016, Mahkamah Kostitusi, telah membatalkan kata “Dapat” dalam rumusan pasal 2 dan 3, Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi (Vide Bukti), dan delik korupsi yang selama ini digunakan sebagai delik formil berubah menjadi delik materil yang mengisyaratkan adanya akibat unsur kerugian keuangan negara harus dihitung secara nyata/ pasti menjadi delik materil. Sebab unsur kerugian negara tidak lagi dipahami sebagai pikiran (potensial loss), tetapi harus dipahami benar-benar sudah terjadi atau nyata          (actual loss) dalam Tindak Pidana Korupsi. Oleh karenanya Penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon adalah tidak sah dan cacat hukum karena tidak memenuhi dua alat bukti yang secara kualitatif diatur dalam Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), salah satunya tidak terdapat bukti hasil audit perhitungan kerugian keuangan negara dari BPK-RI. Dengan demikian Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/04/2024, tanggal 23 April 2024 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Natuna dan Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/06/2024, tanggal 07 Juni 2024 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Natuna, menjadi tidak sah dan batal demi hukum;

 

  1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendarahaan Negara jo angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan menyebutkan “Kerugian Negara/ Daerah adalah kekurangan uang, surat berharga, dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai”. (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa lebih lanjut dalam Pasal 8 ayat (3) dan ayat (4) Undang- Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), disebutkan ayat (3) “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur Pidana, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan hal tersebut kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan paling lama 1 (satu) bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut”, dan ayat (4) menyebutkan “Laporan BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dijadikan dasar penyidikan oleh pejabat penyidik yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan“;      (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa untuk dapatnya seseorang dinyatakan melakukan tindak pidana korupsi maka disyaratkan adanya kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara, maka dapat disimpulkan yaitu unsur penting dalam tindak pidana korupsi adalah “adanya kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara”, sehingga apabila seseorang disangka melakukan tindak pidana korupsi, maka unsur “adanya kerugian keuangan Negara atau perekonomian Negara”, merupakan unsur pasal dan harus dihitung dengan cermat oleh instansi yang berwenang memeriksa untuk selanjutnya menilai/ menetapkan ada tidaknya kerugian Negara yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), (vide Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara);

 

  1. Bahwa berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia (SEMA-RI) Nomor 4 tahun 2016, mengatur tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Pleno Kamar Mahkamah Agung tahun 2016 sebagai Pedoman Pelaksana Tugas bagi Pengadilan. Salah satu poinnya rumusan kamar pidana (khusus) yang menyatakan hanya Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang secara konstitusional berwenang men-declare kerugian keuangan negara. Dimana rumusan hukum kamar Pidana, menyatakan istansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang memiliki kewenangan konstusional, sedangkan istansi lainnya seperti BPKP/ inspektorat/ satuan kerja perangkat daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan negara, namun tidak menyatakan atau men-declare adanya kerugian negara. (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa oleh karena itu, secara juridis konsitusional, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah satu-satunya lembaga yang berwenang menyatakan ada atau tidaknya kerugian keuangan negara. Secara konstistusional, kewenagan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara diatur dalam pasal 23 e UUD Negara RI 1945 dan dipertegas kembali dalam UU No.15 tahun 2016, tentang BPK. Sebab Pasal 1 angka 1 UU No.15 tahun 2016 tentang Badan Pemeriksa keuangan (BPK), adalah lembaga negara yang bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara sebagaimana dimakasud dalam UUD Negara RI Tahun 1945. Pasal 10 ayat (1) UU No.15 tahun 2016 tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan “BPK menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh Perbutan melawan hukum baik sengaja maupun lainnya dilakukan oleh Bendahara, Pengelolaan BUMN/BUMD, dan Lembaga/Badang lainnya yang menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara”. (Vide Bukti);

 

  1. Bahwa berdasarkan Pasal 2 Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: PER-039/A/JA/10/2010 tanggal 29 Oktober 2010, yang menjadi sumber penyelidikan adalah: (Vide Bukti)
  1. Sumber Penyelidikan terdiri dari:
  1. Laporan.
  2. Hasil Audit BPK RI/ BPKP.
  3. Hasil pemeriksaan dari unit pengawasan internal (termasuk hasil laporan pengawasan Jaksa Agung Muda Pengawasan/ Asisten Pengawasan).
  4. Pelimpahan perkara dari Jaksa Agung Muda Tindak Intelijen/ Asisten Intelijen.
  5. Pelimpahan perkara dari Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum/ Asisten Tindak Pidana Umum/ Kepala Seksi Tindak Pidana Umum.
  6. Pelimpahan perkara dari Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara/ Asisten Perdata dan Tata Usaha Negara/ Kepala Seksi Perdata dan Tata Usaha Negara.
  1. Laporan pengaduan masyarakat menjadi sumber penyelidikan apabila materi kasus ada kaitannya dengan dugaan tindak pidana korupsi.
  2. Laporan hasil temuan penyidik sebagai sumber penyelidikan, dilaporkan secara langsung kepada Pejabat Teknis Penyelidikan dan berlaku ketentuan mekanisme telahaan staf.

 

  1. Bahwa ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2006 a quo, Mahkamah Agung telah mengatur tata penilaian oleh Hakim dalam mengadili perkara korupsi dalam pertimbangan menilai kerugian keuangan Negara, yang mana harus berdasarkan lembaga Negara yang konstitusional mempunyai kewenangan berdasarkan undang-undang untuk menyatakan adanya kerugian keuangan Negara dalam pengelolahannya, hal ini berdasarkan Fatwa Mahkamah Agung Nomor : 068/KMA/HK.01/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012, “....dalam Angka 1 butir c dinyatakan, “bahwa jumlah kerugian Negara yang dapat dipertimbangkan dalam proses peradilan adalah jumlah kerugian Negara yang dinilai dan/atau ditetapkan dengan keputusan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)”.

 

  1. Bahwa dalam praktek peradilan, hakim telah membuat yurisprudensi terkait penetapan Tersangka tanpa menggunakan 2 (dua) alat bukti yang cukup sebagai berikut :
  • Yurisprudensi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor : 38/Pid.prap/2012/PN.Jkt-Sel, antara Bachtiar Abdul Fatah Melawan Jaksa Agung Republik Indonesia cq Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus cq Direktur Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, dimana pertimbangan Hakim Praperadilan sebagai berikut; “Bahwa benar quo non ada alat bukti yang cukup, namun ketika pemohon ditetapkan sebagai Tersangka, secara pasti belum ada penghitungan kerugian Negara yang nyata dan pasti jumlahnya, dan belum dihitungnya kerugian negara yang nyata dan pasti oleh ahli dalam keuangan negara, perekonomian Negara serta analisis hubungan perbuatan seseorang dengan kerugian negara, tidak dapat ditafsirkan dengan diskersi oleh penyidik bahwa sudah ada kerugian Negara, sebab tentang kerugian Negara yang merupakan elemen pokok dalam perkara korupsi sesuai putusan Mahkamah Konstitusi No. 003/PUU-IV/2006 tanggal 25 Juli 2006 bahwa kerugian unsur Negara harus dibuktikan dan harus nyata dan pasti serta penghitugannya dilakukan oleh ahli.”

 

  • Yurisprudensi Putusan Praperadilan Pengadilan Negeri Ternate Nomor :2/ Pid. Pra / 2021/ PN Tte antara Ibrahim Ruray Melawan Kejaksaan Agung Republik Indonesia cq Kejaksaan Tinggi Maluku Utara, dimana pertimbangan Hakim Praperadilan sebagai berikut; “Alat bukti surat yang digunakan sebagai dasar Termohon menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, tidak memenuhi syarat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan ( UU BPK) Jo Pasal 1 angka 22 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, Jo Penjelasan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi: Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Hakim Pemeriksa perkara ini, berkesimpulan bahwa Penetapan Tersangka oleh Termohon terhadap diri Pemohon tidak didasarkan pada 2 [dua] alat bukti permulaan yang cukup sebagaimana syaratkan oleh KUHAP maupun Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 21/PUU-XII/2014, tanggal 28 April 2015, sehingga harus dinyatakan tidak sah;”

 

  1. Bahwa Bahwa Penyidik sekurang-kurangnya harus mempunyai 2 (dua) alat bukti yang sah untuk menyatakan bahwa tindak pidana itu betul- betul terjadi dan Tersangkalah yang melakukan perbuatan pidana itu, namun senyatanya ketika Pemohon ditetapkan sebagai Tersangka oleh Termohon, 2 (dua) alat bukti yang sah untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka tersebut tidak ada pada Termohon hal itu terbukti dari tidak adanya Alat Bukti yaitu berupa Dokumen Hasil Audit dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selaku instansi berwenang yang menyatakan ada terdapat kerugian negara;

 

  1. Bahwa dengan demikian terhadap tindakan Termohon yang telah menetapkan status Pemohon sebagai Tersangka tanpa didasarkan pada adanya kerugian negara sesuai hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), nyata-nyata sebagai kesalahan prosedur yang bertentangan dengan hukum acara pidana, maka secara hukum Penetapan Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon nyatakan tidak sah dan batal demi hukum karena tidak mencukupi dua alat bukti sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAPidana;

 

  1. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA OLEH TERMOHON TANPA DILAKUKAN PEMERIKSAAN/ PERMINTAAN KETERANGAN  AHLI PIDANA TERLEBIH DAHULU.

 

  1. Bahwa sebagaimana ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan bukti yang terdiri 5 (lima) komponen alat bukti yang sah yaitu:

 

  1. Keterangan saksi;
  2. Keterangan ahli;
  3. Surat;
  4. Petunjuk; dan
  5. Keterangan terdakwa.

 

  1. Bahwa Pemohon ditetapkan oleh Termohon sebagai Tersangka tanpa dilakukan terlebih dahulu permintaan Keterangan dari Ahli Pidana baik ditingkat Penyelidikan maupun ditingkat Penyidikan;

 

  1. Bahwa Pasal 184 (1) KUHAP menetapkan, keterangan Ahli sebagai alat bukti yang sah. Hal ini dibuktikan diletakkannya pada urutan kedua setelah alat bukti keterangan saksi. Perbuatan Undang-undang menilai sebagai salah satu bukti yang penting dalam pemeriksaan perkara tindak pidana khususnya Tindak Pidana Korupsi karena keterangan Ahli sangat menentukan arah penyidik dalam memenuhi unsur-unsur Tindak Pidana yang disangkakan kepada Tersangka;

 

  1. Bahwa oleh karenanya menurut hukum seluruh hasil penyidikan hingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon selaku penyidik, adalah menjadi cacat hukum sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum berikut akibat hukumnya;

 

  1. Bahwa oleh karenanya menurut hukum, Termohon tidak dibenarkan menurut hukum untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka jika tidak memiliki sedikitnya 2 (dua) bukti. Sehingga karenanya penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon selaku penyidik, menjadi cacat hukum sehingga mengakibatkan batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum berikut akibat hukumnya karena sejak semula telah keliru menurut hukum;

 

  1. Bahwa karenanya telah berdasarkan hukum bagi hakim Praperadilan untuk menyatakan seluruh hasil penyidikan hingga penetapan Pemohon sebagai Tersangka oleh Termohon selaku penyidik, adalah tidak sah dan atau batal serta tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat berikut segala akibat hukumnya terhadap Pemohon/ Tersangka karena sejak semula telah keliru menurut hukum;

 

 

 

  1. PETITUM/ PERMINTAAN PEMOHON

 

Bahwa berdasarkan pada alasan dan dasar hukum sebagaimana diuraikan diatas, Pemohon melalui kuasa hukumnya mengajukan permohonan (petitum) agar hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara a quo untuk menjatuhkan putusan yang amarnya sebagai berikut:

 

  1. Menerima dan Mengabulkan Permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya;

 

  1. Menyatakan Surat Perintah Penyidikan Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/04/2024, tanggal 23 April 2024 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Natuna adalah tidak sah dan batal demi hukum;

 

  1. Menyatakan Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print-01/L.10.13/Fd/06/2024, tanggal 07 Juni 2024 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Natuna adalah tidak sah dan batal demi hukum;

 

  1. Menyatakan segala surat yang diterbitkan oleh Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka adalah tidak sah dan batal demi hukum;

 

  1. Menyatakan tidak sah dan batal demi hukum penetapan Tersangka oleh Termohon kepada Pemohon sepanjang terkait dugaan Tindak Pidana Korupsi Pengelolaan Keuangan Perusahaan Daerah Kabupaten Natuna Tahun Anggaran 2018 sampai dengan Tahun Anggaran 2020;

 

  1. Menyatakan penetapan Pemohon sebagai Tersangka tidak mencukupi dua alat bukti yang sah menurut pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

 

  1. Menyatakan menurut hukum perkara aquo tidak memenuhi tindak pidana korupsi;
  2. Memerintahkan Termohon untuk membebaskan Pemohon dari Tahanan segera setelah putusan ini diucapkan;

 

  1. Memerintahkan kepada Termohon untuk merehabilitasi nama baik Pemohon;

 

  1. Menghukum Termohon untuk membayar biaya yang timbul dalam permohonan ini;

 

 

 

Apabila Hakim yang memeriksa dan mengadili Perkara Aquo berpendapat lain mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Demikianlah Permohonan Praperadilan ini diajukan, atas putusan Bapak/ Ibu Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini secara arif dan bijaksana kami ucapkan terima kasih.

Hormat Kami,

Kuasa Hukum Pemohon

 

 

 

MUHAJIRIN, S.H.

 

 

 

 

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya